Mataram,Media BuserBimaNTB.Com - Ketua Fraksi PAN DPRD Kabupaten Bima, Rafidin S.Sos, melaporkan Ketua DPRD Kabupaten Bima, Nurmala Sari alias Dita, ke Kejaksaan Tinggi NTB, Kamis (3/12/2025). Laporan tersebut terkait dugaan penyimpangan anggaran pokir (pokok-pokok pikiran) tahun 2026 senilai Rp31 miliar, yang disebut dibagikan secara sepihak tanpa mekanisme resmi lembaga.
Rafidin datang langsung ke Kejati NTB Kamis (04/12/2025 ) dan menyerahkan laporan dugaan korupsi tersebut. Ia menegaskan bahwa pembagian anggaran pokir dilakukan ketua DPRD tanpa kesepakatan fraksi ataupun forum resmi.
“Saya melaporkan dugaan korupsi pokir Rp31 miliar. Ibu Ketua DPRD membagikan anggaran itu tanpa rapat, tanpa persetujuan seluruh anggota DPR. Ini lembaga negara, bukan yayasan pribadi,” ujar Rafidin usai mengadukan ke kejati NTB.
Dalam penjelasannya, Rafidin mengungkapkan bahwa masing-masing anggota DPRD menerima nominal bervariasi, mulai dari Rp300 juta hingga Rp2,3 miliar. Ia sendiri mengaku dititipi Rp600 juta, namun menolak.
Ia menyebut setidaknya 27 anggota DPRD telah menandatangani penolakan pembagian pokir tersebut dan mengembalikannya ke eksekutif.
“Fraksi PAN, PKS, dan PDIP sudah menolak. Kami tidak mau jadi bagian dari skema yang tidak prosedural. Kami kembalikan pokir itu ke eksekutif,” katanya.
Rafidin juga mengklaim bahwa ketua DPRD awalnya mengaku tidak menerima apa pun, namun kemudian disebut menitipkan anggaran ke sejumlah anggota DPRD lain.
Rafidin menyebut angka Rp31 miliar tersebut diberikan langsung oleh pihak eksekutif untuk program pokir DPRD. Namun ia menyatakan anggota tidak mengetahui secara pasti sumbernya, apakah dari DAU, DAK, atau pos anggaran lainnya.
Ia menegaskan bahwa seluruh program DPRD dan eksekutif seharusnya sudah termuat dalam SIPD (Sistem Informasi Pemerintahan Daerah) sehingga usulan dadakan tidak boleh masuk.
“Kalau ada pokir tiba-tiba di luar SIPD, sistem otomatis menolak. Karena itu pembagian Rp31 miliar ini janggal,” tegasnya.
Dugaan Titipan dan Distribusi di Sejumlah Fraksi
Rafidin menyebut penitipan anggaran pokir dilakukan melalui beberapa fraksi seperti PPP, Demokrat, Golkar, dan sejumlah dapil, antara lain Sape, Lambu, dan Wera.
Penitipan diduga hanya berupa angka yang kemudian dicatat di eksekutif melalui pihak tertentu.
“Semua eksekusi dikendalikan ketua DPRD. Seolah-olah lembaga ini milik pribadi,” ucapnya.
Untuk kasus pokir 2026, Rafidin belum melihat indikasi keterlibatan eksekutif. Namun untuk tahun 2025, ia menyebut adanya dugaan keterlibatan pejabat teknis OPD dan tim TAPD.
“Kalau 2025, diduga ada oknum pejabat yang terlibat. Semua akan berkembang saat penyidikan,” kata Rafidin.
Dalam hal ini, Rafidin meminta Kejati NTB memproses laporannya secara objektif, mengingat maraknya kasus korupsi di NTB, termasuk kasus pokir DPRD NTB yang menjerat tiga anggota dewan.
“Korupsi di NTB ini masif. Saya harap kasus ini diusut tuntas, agar uang rakyat tidak jadi bancakan,” Tutupnya
BB 01


